SURVIVE
Seorang gadis tengah terpuruk, meratapi nasib dari Sang Ilahi Rabbi. Alya khaerunisa, seorang gadis muda nan cantik yang belum lama ini di tinggal kedua orang tuanya menghadap Sang Pencipta.
"Sabar, Al. Aku yakin kamu pasti bisa bertahan dari ujian ini." ucap Dewi sang sahabat.
"Wi, kenapa Allah harus mengambil kedua orang tuaku? Apa salahku, Wi?" ratapnya pada sang sahabat.
"Tak semua yang di uji adalah yang salah, Al. Kamu harus percaya bahwa takdir Allah adalah terbaik bagi setiap Hambanya.
Allah menguji kita karena Dia yakin kita mampu menjalani ujianya."
Alya menangis dalam pelukan Dewi, semua beban ia curahkan pada sahabatnya. Dewi adalah sahabat terbaik Alya, ia selalu menjadi penyemangat saat Alya drop, dan selalu bersenang hati kala Alya bahagia.
Flash back
Satu bulan yang lalu
"Bunda ... kenapa sih kalian harus ninggalin Alya sendiri? Alya mau ikut aja sama kalian, yah? Alya gak mau di tinggal sendiri di rumah. Nanti Alya kesepian gimana?" rengek Alya pada bundanya.
"Ya ampun Alya, kamu itu sudah besar kok manjanyaaa, Masya Allah deh." ucap bunda.
"Ikh, bunda kom gitu. Kan Alya sayaaang banget sama kalian. Alya gak mau jauh jauh dari kalian."
"Sayang, kami gak lama kok perginya. Paling satu minggu, setelah pekerjaan ayah selesai, bunda sama ayah langsung pulang deh." rayu sang bunda.
"Janji?"
Sang bunda tersenyum, "in syaa Allah, Sayang."
Seminggu sebelum keberangkatan orang tuanya, Alya merasa selalu ingin bermanja manja pada mereka. Entah, mungkin itu adalah firasat batinya. Seolah ia tak ingin jauh dari mereka walau hanya sejenak.
Bahkan untuk tidur pun ia ingin bersama orang tuanya. Padahal, biasanya ia adalah sosok yang mandiri. Tapi kali ini ia begitu ingin di manja layaknya anak yang haus akan kasih sayang orang tua.
Seminggu sebelum keberangkatan orang tuanya, Alya merasa selalu ingin bermanja manja pada mereka. Entah, mungkin itu adalah firasat batinya. Seolah ia tak ingin jauh dari mereka walau hanya sejenak.
Bahkan untuk tidur pun ia ingin bersama orang tuanya. Padahal, biasanya ia adalah sosok yang mandiri. Tapi kali ini ia begitu ingin di manja layaknya anak yang haus akan kasih sayang orang tua.
"Kamu kenapa sih, Sayang? Kok akhir akhir ini manja banget, gak seperti biasanya, deh." tanya sang bunda yang merasa aneh dengan sikap putri kesayanganya.
"Alya juga gak tahu, Bun. Alya cuma merasa seperti akan berpisah jauh sama ayah dan bunda. Bunda, boleh yah Alya ikut sama kalian? Please ... !" rengeknya.
Sang bunda malah tersenyum seraya menggeleng lemah. Alya yang melihat tanggapan dari bundanya hanya mengerucutkan bibirnya sebagai tanda ia merajuk.
"Jangan manyun, dong. Jelek. Masa anak bunda yang cantik ini merajuk, sih."
"Biarin." jawab Alya jutek.
"Ish, malah ngambek sama bundanya. Gak boleh, dosa, tahu."
Alya langsung memeluk sang bunda, "Bunda ... jangan tinggalin Alya, yah?"
"Bunda gak ninggalin Alya, kok. Kan bunda selalu ada di hati Alya, iya kan?"
Alya menangis dalam pelukan bundanya, dengan suara serak ia menjawab, "bunda akan selalu ada dan selamanya di hati Alya. Begitu juga dengan ayah. Alya akan selalu menyayangi kalian berdua."
"Bunda juga sayang sama Alya. Udah, jangan sedih lagi yah!" Alya mengangguk seraya mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Hari terus berlalu, saatnya keberangkatan Bu Nindi dan Pak Rahman, orang tua Alya telah tiba.
"Ish, malah ngambek sama bundanya. Gak boleh, dosa, tahu."
Alya langsung memeluk sang bunda, "Bunda ... jangan tinggalin Alya, yah?"
"Bunda gak ninggalin Alya, kok. Kan bunda selalu ada di hati Alya, iya kan?" Bunda.
Alya menangis dalam pelukan bundanya, dengan suara serak ia menjawab, "bunda akan selalu ada dan selamanya di hati Alya. Begitu juga dengan ayah. Alya akan selalu menyayangi kalian berdua."
"Bunda juga sayang sama Alya. Udah, jangan sedih lagi yah!" Alya mengangguk seraya mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Hari terus berlalu, saatnya keberangkatan Bu Nindi dan Pak Rahman, orang tua Alya telah tiba.
Kepergian mereka di iringi isak tangis oleh Alya, entah kenapa ia tak mampu membendung air matanya. Firasatnya selalu saja menghantuinya, perasaan yang muncul membawa kegelisahan dalam hatinya.
Alya hanya bisa menatap kepergian orang tuanya, berharap mereka kembali dengan selamat dan berkumpul kembali bersamanya.
**
Hari berganti, baru saja Alya mendapati kabar dari sang bunda bahwa mereka baru saja sampai di Singapura, tempat ayahnya bertugas untuk satu minggu ke depan. Alya merasa tenang, setidaknya mereka telah sampai dengan selamat.
"Bi, Alya berangkat sekolah dulu, yah?" pamitnya pada Bi Ijah, pembantu di rumahnya.
"Iya, Non. Hati hati ya, Non."
"Iya, assalamu'alaikum, Bi."
Alya berlalu setelah mendapat jawaban salam dari Bi Ijah. Sekeluarnya ia dari gerbang, ternyata Dewi sahabatnya sudah menunggu di depan gerbang.
"Eh, Wi. Udah lama belum?" tanya Alya.
"Belum, baru juga nyampe. Tadinya mau ngetuk gerbang, eh, kamunya udah nongol duluan."
"Oh, ya udah, yuk. Nanti telat pula, ini kan jadwalnya guru favorit aku, hehe." Alya seraya memakai helm kemudian naik di jok belakang motor milik sahabatnya.
Di sekolah, selesai pelajaran Alya kembali teringat dengan kedua orang tuanya. Rasa rindu menyeruak dalam hati, teringat momen momen keseharianya bersama sang bunda tersayang.
'Akh, sayang sekali, nanti pulang sekolah gak ada bunda.' batinya.
Doorrrr
Alya terkejut mendapati sahabatnya datang dari belakang dan mengagetkanya tiba tiba.
"Ish, kamu, Wi. Bikin kaget aja. Kalo aku jantungan gimana? Kamu mau tanggung jawab, emang? cerocos Alya pada Dewi.
"Eittss, aku gak mau tanggung jawab. Tapi nanti aku bilangin sama Kak Sam deh, biar dia aja yang suruh tanggung jawab. Hahaha."
"Aawwh ...!" Pukulan kecil mendarat di lengan Dewi.
"Hem ! Rasain, makanya gak usah cari cari masalah sama aku, huh." rajuk Alya.
"Hahaha, udahlah ... gak usah malu kamu, Al. Aku tahu kok, kamu suka kan, sama Kak Sam?"
"Gak, Wi. Kamu yang sok tahu." Alya mengerucutkan bibirnya.
Dewi hanya terkekeh dengan sikap Alya yang seperti salah tingkah menanggapi ucapanya. Tak lama pelajaran ke dua di mulai, para siswa dan siswi menyimak dengan serius penjelasan materi yang di sampaikan oleh sang guru.
Sampailah kini saatnya waktu pulang tiba, bel berbunyi tanda waktu pelajaran selesai. Semua siswa berhamburan keluar ruang kelas untuk segera pulang, mengistirahatkan tubuh dan pikiran setelah setengah hari mereka berkutat dengan materi pelajaran.
"Ayo, Al." ajak Dewi.
"Ok, siip." jawab Alya seraya menggendong tas miliknya, kemudian mereka berdua berlalu.
Sampai di parkiran, mereka lansung melesat menuju rumah Alya untuk mengantarkanya. Setelah sampai, Alya segera masuk setelah mengucap terima kasih pada sahabatnya.
"Assalamu'alaikum ...."
Tak lama pintu terbuka, nampak Bi Ijah dari dalam yang membukakan pintu.
"Eh, Non. Sudah pulang?"
"Iya, Bi. Bunda ada telefon lagi gak, Bi?" Seraya berjalan masuk ke dalam.
"Belum, Non. Mungkin sibuk kali, Non."
Huftt
Raut wajah kecewa tersirat di wajah Alya. Ia sudah sangat rindu pada orang tuanya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur king size miliknya, berharap sang bunda segera memberi kabar padanya.
Tak terasa ia telah terlelap dalam mimpi indah, dalam mimpinya ia tengah bercanda ria dengan sang bunda, tapi tiba tiba saja ia terbangun, kala dirinya mendapati dalam mimpinya, sang bunda terpelanting ke dalam jurang.
"Astagfirullahal 'adzim."
Perasaanya semakin tak karuan, ia melirik jam yang ternyata waktu sudah sore. Ia bangkit, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selesai mandi, terdengar suara pintu di ketuk. Ia pun segera membukakan pintu, ternyata Bi ijah yang mengetuk pintu. Ia menyampaikan kalau Bu Nindi menelfon.
Mendengar nama sang bunda, raut wajah Alya berubah seketika. Ia pun segera mengambil telefon rumah dengan cepatnya.
"Assalamu'alaikum, Bun!"
[Wa'alaikumussalam, Sayang. Kamu lagi apa di sana?] jawab sang bunda dari seberang.
"Baru selasai mandi ini, Bun. Bunda baik baik saja, kan?" tanya Alya teringat tentang mimpinya barusan.
[Bunda baik baik saja kok, ayah juga. Kamu kenapa? Kok, sepertinya nada kamu khawatir gitu?]
"Akh, gak kok, Bun. Alya gak khawatir, kok." sahutnya.
Mereka pun meneruskan percakapanya lewat telefon, sang bunda bercerita tentang keadaan di Singapura. Alya pun mendengarkanya dengan senang hati. Sampai waktunya sambungan pun terputus.
**
Waktu terus berjalan, tak terasa hari kepulangan orang tua Alya telah tiba. Alya pun sudah tak sabar menanti kepulangan mereka. Ia sudah sangat rindu, seminggu tak bertemu dengan mereka.
"Bi, katanya, Bunda besok sudah bisa pulang. Kita belanja bahan masakan, yuk?" ajak Alya pada Bi Ijah.
"Boleh, Non. Emang, Non mau masakin nyonya apa?" tanya Bi Ijah.
"Eeemmm ... kesukaan bunda kan gurame bakar sama balado terong. Terus klo ayah ... sayur kangkung sama telur di santenin gitu, Bi. Jadi Alya mau masak semua itu. Nanti bibi bantuin Alya, yah?"
"Siaap, Non."
Mereka pun berangkat menuju pasar tradisional di daerah Alya berdomisili. Sesampainya di pasar, mereka langsung berburu barang barang yang hendak mereka beli. Setelah semua di dapat, mereka bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, Alya merebahkan diri di sofa ruang tamu. Melepas lelah setelah berkeliling pasar mencari bahan masakan yang di butuhkan. Sedangkan Bi Ijah berlalu ke dapur untuk membereskan belanjaan yang mereka dapat dari pasar.
"Non, di minum dulu. Pasti Non capek kan berjalan keliling pasar tadi?" ucap Bi Ijah sambil meletakan segelas jus mangga kesukaanku.
"Akh, Bi Ijah ini tahu aja deh kesukaan Alya. Hehe. Makasih ya, Bi." Seraya ku ambil gelas berisi jus mangga tersebut.
"Sama sama, Non."
Bi ijah berlalu ke dapur meninggalkan aku yang tengah menikmati segarnya jus buatan Bi Ijah.
Alya begitu semangat kala mengingat orang tuanya akan segera pulang. Ia begitu antusias, tiba tiba saja telefon rumahnya berdering. Ia pun segera menggapainya.
"Assalamu'alaikum," ucap Alya.
[Wa'alaikumussalam, Sayang. Ini bunda.]
"Bundaaa ! Besok beneran udah bisa pulang kan?"
[Iya, Sayang. In syaa Allah bisa, kok.]
"Asyiikk. Oh ya, Bun, Alya ada kejutan buat ayah sama bunda lho."
[Apa, Sayang?]
"Ra ha si aaaa! Besok juga Bunda tahu sendirilah."
[Ya sudah, iya iya deh.]
"Bunda ... Alya kangen. Bunda besok hati hati di jalan yah? Alya gak mau terjadi apa apa sama kalian."
[Iya, Sayang. Udah dong, jangan sedih terus. Kan, besok lusa juga Alya sudah bisa ketemu bunda.]
Panggilan telefon pun berakhir, Alya merasa bahagia sudah mendengar kepastian dari sang bunda tentang kepulangan mereka.
Satu hari berlalu, kebetulan hari ini adalah akhir pekan, Alya mempunyai waktu untuk sekedar berjalan jalan dengan sahabatnya. Mengingat besok pagi ia akan bertempur di dapur untuk menyiapkan makanan kesukaan orang tuanya sebagai kejutan.
"Hai, Al. Udah siap?
"Capcus." Alya naik ke motor milik Dewi, mereka pun berangkat.
Minggu pagi yang cerah, secerah hati Alya yang tak lama lagi akan menyambut kepulangan orang tuanya. Ia begitu bahagia tanpa tahu apa yang akan terjadi nanti. Alya dan Dewi pergi ke mall, ya, meski hanya untuk jalan jalan. Setidaknya mereka menikmati hari libur mereka. Setelah di rasa cukup, mereka pun memutuskan pulang.
**
Pagi menjelang, Alya telah siap untuk memulai pertempuranya di dapur, ia sengaja sudah meminta izin tidak masuk sekolah dengan alasan keperluan keluarga. Ia pun memulainya dengan di bantu oleh Bi Ijah.
Sekitar dua jam Alya berkutat di dapur, akhirnya pekerjaanya selesai, ia pikir cukup tepat waktu juga menyelesaikan pekerjaanya. Karena kemarin sang bunda bilang, kemungkinan sampainya sekitar jam sepuluh siang.
Ia pun menghempaskan tubuhnya di sofa. Alya melirik jam, ternyata baru jam sembilan pagi. Masih sekitar satu jam lagi sang bunda nyampe. Pikirnya. Sambil menunggu, ia menyalakan televisi.
Betapa tekejutnya, ia melihat sebuah berita tentang kecelakaan pesawat dari penerbangan Singapura air lines. Hatinya sudah tak karuan, berharap bukan pesawat yang jatuh bukanlah yang di tumpangi kedua orang tuanya. Namun, harapanya kini telah sirna. Pesawat itu benar benar yang di tumpangi oleh sang bunda dan ayahnya. Ia sudah mencocokan keterangan yang menunjukan bahwa semua itu valid.
Flash back off
Haha, menurutku sih berantakan... ok lanjut.
Sudah sebulan lebih sejak peristiwa kecelakaan yang terjadi pada orang tuanya, Alya kini menjadi lebih pendiam dari biasanya. Senyuman yang dulu selalu terlihat di wajahnya, kini telah hilang. Wajah berserinya kini muram, tak memancarkan kebahagiaan.
Dewi merasa sangat iba pada sahabatnya, ia cukup memahami perasaan sahabatnya kini. Namun, ia tetap berusaha membuat Alya agar kembali tersenyum. Sudah berbagai cara ia berusaha menghiburnya, tapi belum juga berhasil membuat sahabatnya melupakan kejadian itu.
Bahkan sejak saat kecelakaan itu pula, Alya belum pernah masuk sekolah lagi. Ia selalu mengurung diri di rumahnya. Hal itu yang membuat Dewi menjadi semakin khawatir, dengan kondisi jiwa sahabatnya. Sesering mungkin, Dewi selalu menyempatkan diri mampir ke rumah Alya sepulang dari sekolah.
Tak lupa ia pun selalu berusaha mengajak keluar sekedar jalan jalan, tapi selalu di tolak oleh Alya.
"Al, please ... jangan kaya gini, yah? Kasian orang tuamu di sana. Pasti mereka juga sedih melihat kamu seperti ini, Al." tutur Dewi menasehati.
"Kamu gak tahu rasanya kehilangan, Wi." sahut Alya lemah.
"Aku cukup tahu dan paham bagaimana rasanya, Al. Biarpun aku gak mengalami apa yang kamu alami, tapi aku tahu rasanya kehilangan. Aku juga yakin, kok, pasti tante Nindi dan om Rahman gak mau melihat kamu bersedih terus menerus seperti ini. Aku yakin, yang mereka inginkan adalah kamu kuat, bertahan melanjutkan hidup, mengejar cita citamu. Tersenyum lah kembali, Al."
Alya hanya diam, tak menanggapi perkataan sahabatnya. Ia kembali menitikan air mata, Dewi dengan sigap memeluk sahabatnya yang kini terlihat semakin rapuh jiwanya. Ia juga merasa sedih, melihat sahabatnya sedih. Ia berjanji pada dirinya sendiri, dia akan terus berusaha mengembalikan senyum di wajah sahabatnya seperti dulu.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menyadarkan lamunan Dewi, ia pun segera berdiri untuk membukakan pintu. Ternyata Bi Ijah yang datang membawakan semangkok bubur untuk sahabatnya, Alya.
"Masuk, Bi. Alyanya masih gak mau makan juga kah, Bi?" tanya Dewi.
"Iya, Non Dewi. Non Alya ... terus saja gak mau makan. Makan paling sesuap dua suap aja. Terusnya sudah gak mau lagi. Bibi bingung, bibi takut nanti Non Alya kenapa kenapa. Tolong ya, Non. Coba di rayu Non Alyanya. Siapa tahu kalo sama Non Dewi, Non Alya mau makan."
"Ya, Bi. Sini buburnya, saya coba bujuk Alya. Siapa tahu dia mau." ucap Dewi seraya mengambil buburnya dari Bi Ijah.
"Trima kasih ya, Non. Non Dewi sudah mau tetap berteman dengan Non Alya. Bibi gak tahu lagi harus bagaimana kalo gak ada Non Dewi."
"Udah lah, Bi, saya kan sahabatnya. Masa iya saya ninggalin dia saat keadaanya drop seperti ini. Kami dulu sudah pernah saling berjanji untuk saling menjaga bila salah satu dari kami ada yang membutuhkan sandaran. Jadi, saat ini Alya lah yang membutuhkan sandaran itu, dan saya sebagai sahabat akan selalu menjadi sandaran untuknya."
Dewi pun menghampiri Alya dengan semangkok bubur ditanganya. Ia berusaha membujuk Alya agar mau memakan buburnya. Akhirnya Alya pun mau memakanya meski tak banyak, tapi cukup lumayan bisa mengisi perutnya yang kosong.
**
Dua bulan berlalu, keadaan Alya berangsur membaik. Ia sudah mulai bisa menerima takdir yang terjadi pada dirinya, tentu karena semangat dari sahabatnya yang tak pernah putus asa menyemangatinya. Ia juga sudah mulai sekolah kembali, dengan bantuan dari Dewi, ia mampu mengejar ketertinggalanya dalan pelajaran. Di dukung juga dari otak cerdasnya tentu saja, sebab Alya termasuk dalam siswi tercerdas di sekolahnya.
Kini ia tinggal bersama Bi Ijah, sedangkan biaya sekolah di tanggung oleh beasiswa dari pihak sekolah. Ia beruntung, karena di kelilingi oleh orang orang yang begitu menyayanginya. Hal itu adalah salah satu alasanya bangkit dari keterpurukan. Ia sanggup menjalani hidup meski tanpa kedua orang tua di sisinya
Kini ia bertekad untuk kembali mengejar impian yang dulu sempat sirna oleh kesedihanya yang mendalam. Support yang di berikan orang orang terdekat telah menjadi sumber kehidupan utama baginya.
Komentar
Posting Komentar